welcome ...just an ordinary blog

Minggu, 01 Januari 2012

Sudah Sempurnalah Agama (Islam) Ini


Sungguh Alloh Azza wa Jalla telah menganugerahkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan banyak nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Dan nikmat Alloh terbesar adalah nikmat kepada manusia dan jin pada akhir zaman, (yaitu) dengan mengutus Rasul yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk menyampaikan risalah secara menyeluruh dan sempurna.
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. dan jika tidak  kamu mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS al-Maidah : 67)
            Syari’at yang Alloh utus kepada Nabi Muhammad mempunyai tiga karakteristik:


  1. Kekal (al-Baqo’)
Imam Bukhari (71) dan Muslim (1037) meriwayatkan dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu yang berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda :
Barangsiapa yang Alloh mengendaki kebaikan atasnya, maka ia akan memahamkannya di dalam agama. Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang qoosim (pembagi) dan Alloh-lah yang memberi. Umat ini akan senantiasa menegakkan perintah Alloh, tidaklah mencederai mereka orang-orang yang menyelisihi mereka, sampai datangnya hari kiamat.” 

  1. Universal (al-‘Umum)
Universal yaitu mencakup Jin dan Manusia, dan mereka umat Rasululloh adalah umat dakwah. Sesungguhnya setiap manusia dan jin, dari semenjak diutusnya Nabi sampai hari kiamat kelak, diseru (didakwahi) untuk masuk ke dalam agama yang hanif (lurus) ini. Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’...” [An-Nahl: 36]
Katakanlah (wahai Muhammad): Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semuanya.” [QS al-A’raaf : 158]
Sabda Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam:
Demi (Rabb) yang jiwaku berada di tangannya! Tidaklah seorang pun di umat ini yang mendengar tentang diriku, baik ia seorang Nasrani atau Yahudi kemudian meninggal dan tidak mengimani dengan risalah yang aku diutus dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka.” [Shahih Imam Muslim (153)]

  1. Sempurna (al-Kamal)
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maa`idah : 3)
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Aku meninggalkan kepada kalian dalam keadaan putih terang benderang, yang malamnya bagaikan siangnya. Tidaklah ada seorang pun yang berpaling darinya melainkan ia pasti binasa.” [Shahih riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam as- Sunnah (48) dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu.]

Keumuman Makna Sunnah
Syariat yang sempurna ini merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan makna yang umum, karena memiliki empat makna:
Pertama: Segala apa yang ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sunnah Rasululloh. Sunnah di sini berarti jalan/metode yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya. Diantara yang bermakna seperti ini adalah sabda Rasululloh:
Barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku.”  [HR. Bukhari (5063) dan Muslim (1401)]
Kedua: Sunnah yang bermakna hadits apabila digandengkan dengan al-Kitab (al-Qur’an). Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian yang apabila sekiranya kalian berpegang dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.” [Riwayat al-Hakim dalam Mustadrak-nya (1/93)]
Juga termasuk sunnah yang bermakna ini adalah perkataan sebagian ulama ketika menyebutkan beberapa masalah: “Ini adalah masalah yang telah ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah dan al-Ijma’”.
Ketiga: Sunnah yang bermakna lawan dari bid’ah. Diantaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits al-‘Irbadh bin Sariyah :
Maka sesungguhnya, siapa saja diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Mahdiyyin arRasyidin (para khalifah yang terbimbing dan lurus), genggamlah sunnah tersebut dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan (di dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (di dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu pasti sesat.” [HR. Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (43-44). At-Tirmidzi mengatakan: hadits hasan shahih]
Keempat: As-Sunnah yang bermakna mandub (dianjurkan) dan mustahab (disukai), yaitu perintah yang datang dengan cara istihbab (penganjuran) bukan dengan cara ijab (mewajibkan), dan penggunaan seperti ini banyak digunakan ahli fiqih. Diantara contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
Sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.” [HR. al-Bukhari (887) dan Muslim (252)]
Sesungguhnya perintah untuk bersiwak jatuh kepada hukum dianjurkan saja (istihbab) dan hukum wajib dalam perintah ini ditinggalkan dengan sebab kekhawatiran akan memberatkan.

Bid’ah: Lawan Dari Sunnah
            “Setiap bid’ah itu sesat”. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Jabir dan al-‘Irbadh, yaitu: “Dan setiap bid’ah itu sesat”,
Dan keumuman di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menunjukkan atas batilnya perkataan seseorang yang mengatakan: di dalam Islam ada bid’ah hasanah (baik). Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata di dalam atsar yang telah disebutkan barusan: “Setiap bid’ah itu sesat walaupun manusia menganggapnya baik.”
Barang siapa yang berbuat bid’ah dalam suatu agama, walau dengan tujuan baik, maka selain merupakan kesesatan, itu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Alloh: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”. Karena dengan perbuatan itu, ia seakan-akan mengatakan Islam belum sempurna dan Nabi Muhammad ketinggalan / lupa dalam menyampaikan risalah. Sebab amalan yang diperbuatnya dianggap dapat mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahuwata’ala belum terdapat di dalamnya.
            Kebanyakan makna bahasa lebih umum ketimbang makna menurut syar’i, dan mayoritas makna syar’i merupakan bagian dari cabang-cabang makna bahasa. Diantaranya adalah Taqwa, Shiyam (puasa), haji, ‘umroh dan bid’ah. Adapun bid’ah menurut bahasa dari kata bada’a, yang mempunyai dua makna, yaitu “segala hal yang di ada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya” dan yang berarti “lelah dan bosan”. Sedangkan arti bid’ah menurut syari’at adalah segala hal yang diada-adakan yang tidak ada asalnya di dalam agama, dan bid’ah di sini adalah lawan dari sunnah.
Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". [HR. Abu Daud, dan Tirmidzi ; hadits hasan shahih].           
Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin berkata: “Anehnya, orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan Dzat, asma’, dan sifat Alloh ‘Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Alloh, untuk mensucikan Alloh, dan untuk menuruti firman Alloh: “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Alloh.” [QS. 2: 22]. Lalu mereka menyalahi para ulama salaf yang tidak mengikuti mereka dan menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek
Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama Alloh berkenaan dengan pribadi Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan perbuatannya itu mereka merasa bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasululloh dan yang mengagungkan beliau. Barangsiapa yang tidak sehati dengan  mereka, maka ia adalah orang-orang yang membenci Rasululloh. Atau mereka menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek yang mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid’ah mereka. [lihat Al-Ibdaa’ Fi Kamala Asy-Syar’ Wa Khathar Al-Ibtidaa’ (19-20)]

Bid’ah: Budaya Mengekor Yang Sesat Dan Menyesatkan
            Nabi bersabda, “Sungguh, kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu, bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya. Sampai kalaupun mereka masuk ke lubang dhob niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani-kah?Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Coba kita tanyakan kepada para pelaku bid’ah, dari manakah ajaran mereka? Dengan sikap setia merekapun akan menjawab, “ini merupakan turun menurun dari nenek moyang kami. Sudah jutaan umat yang melakukannya dan ini tanda dari ketauhidan serta pengangungan kami terhadap Rasululloh.” Tapi anehnya, mereka tidak dapat menyebutkan hadits shohih yang melandasi ibadah mereka.
Tanyakanlah kepada para ahlul bid’ah itu, apakah mereka merasa lebih pintar dari Rasululloh? Apakah mereka menganggap Rasululloh belum sempurna dalam menyampaikan risalah? Apakah mereka menganggap ajaran Islam belum-lah lengkap?
Para pembaca yang budiman, jadilah pembela Al Haq, yaitu dengan cara ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Ittiba’ adalah mengikuti dengan dalil. Bukan ikut-ikutan atau mengekor tanpa mengetahui dalil atau dasar sesuatu yang diikuti. Dengan ittiba’ inilah kita berharap kepada Allah semoga kita menjadi kelompok pembela Al Haq, pembela Allah dan Rasul-Nya, pengibar bendera tauhid dan sunnah, serta penghancur simbol-simbol kesyirikan dan bid’ah. Insya Allah.
Wallahu ta’ala a’lam

1 komentar: